Saturday, May 30, 2009

Perkembangan Perbankan Syariah Mengkhawatirkan, Sangat Beresiko Menjalankan Prinsip Menyimpang dari Syariah. Dimana Peran BI & Dewan Pengawas Syariah?

PERANAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH, INTERNAL AUDIT,
BANK INDONESIA, DAN AKUNTAN PUBLIK DALAM MENJAMIN
GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA BANK SYARIAH

1. Latar Belakang Masalah
Beberapa tahun terakhir ini sudah berkembang prinsip syariah dalam jasa keuangan, mulai dari perbankan, asuransi, pembiayaan, dan investasi pasr modal. Di sektor perbankan, saat ini banyak bank yang mulai masuk ke prinsip syariah baik berupa cabang maupun pendirian perbankan baru. Semuanya ini, tentu membutuhkan pembelajaran terhadap konsep syariah ini, sehingga tidak salah dalam memahami dan praktek bisnisnya.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah memasuki babak baru.Pertumbuhan industri perbankan syariah telah bertranformasi dari hanya sekedar memperkenalkan suatu alternatif praktik perbankan syariah menjadi bagaimana bank syariah menempatkan posisinya sebagai pemain utama dalam percaturan ekonomi di tanah air khususnya dan ekonomi global karena Indonesia merupakan negara jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia. Bank syariah memiliki potensi besar untuk menjadi pilihan utama dan pertama bagi nasabah dalam pilihan transaksi mereka.

1.1 Pertumbuhan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS)
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia juga tidak terlepas dari perkembangan perbankan syariah International. Setelah diakomodasinya Bank Syariah pada Undang-Undang Perbankan No. 10/1998, maka dari tahun 2000 hingga tahun 2004, dapat dirasakan pertumbuhan Bank Syariah cukup tinggi, rata-rata lebih dari 50% setiap tahunnya. Bahkan pada tahun 2003 dan 2004, pertumbuhan Bank Syariah melebihi 90% dari tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, pada tahun 2005, dirasakan ada perlambatan, meskipun tetap tumbuh sebesar 37%. Akan tetapi, walaupun dirasakan pertumbuhan Bank Syariah di Indonesia melambat pada tahun 2005, sebenarnya pertumbuhan sebesar itu merupakan prestasi yang cukup baik. Perlu disadari, bahwa di tengah tekanan yang cukup berat terhadap stabilitas makroekonomi secara umum dan perbankan secara khusus, kondisi industri perbankan syariah tetap memperlihatkan peningkatan kinerja yang relatif baik. (merza gamal:http://kasei-unri.org/index.php)
Pencapaian market share bank syariah hingga hingga November 2008 Pangsa pasar (market share) perbankan syariah baru mencapai 2,08% dengan total aset Rp 47 triliun. Jadi pencapaian tersebut masih jauh dari target Bank Indonesia, seperti yang tercantum dalam tujuan Program Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah (PAPBS) dari Bank Indonesia, yakni mencapai market share perbankan syariah sebesar 5% pada akhir tahun 2008 dengan tetap mempertahankan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Sehingga untuk mencapai target tersebut dibutuhkan kenaikan total aset paling tidak Rp.90 triliun. (http://www.bi.go.id/). Walaupun demikian peningkatan tersebut masih cukup baik jika dibanding akhir tahun 1999 (0.11%), akhir tahun 2005 (1.46%), akhir 2006 (1.58%), dan Maret 2007 (1.69%)

Bagi bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah terdapat aspek tanggung jawab untuk memberikan keyakinan kepada stakeholders bahwa produk dan kegiatan operasional usahanya telah dilaksanakan secara transparan dan dapat dipertanggung jawabkan, baik dalam pemenuhan prinsip manajemen usaha perbankan umum maupun prinsip perbankan syariah. Berdasarkan prinsip-prinsip syariah dimana setiap transaksi ekonomi tidak boleh terdapat unsur-unsur yang diharamkan seperti Riba (bunga bank), maysir (judi), gharar (ketidakpastian), objek haram, dan menimbulkan kezaliman.

1.2 Kasus Perbankan Umum dan Perbankan Syariah di Indonesia.
Dengan adanya dual banking system, di mana bank konvensional diperbolehkan membuka layanan syariah melalui unit usaha atau divisi khusus, menimbulkan pertanyaan apakah Bank Indonesia sebagai pengatur bank di Indonesia mampu melakukan pengaturan yang efektif terhadap perbankan syariah. Pada saat sistem itu diadopsi pertama kali, muncul penolakan bahwa dual banking system akan membuat dana dari syariah tercampur dengan dana di konvensional. Namun perbankan meyakinkan nasabah bahwa pengelolaan unit syariah akan dibuat terpisah dari sistem informasi teknologi hingga pengelolaan dananya. (http://economy.okezone.com/dewan-pengawas-syariah-danamon-harus-tanggung-jawab, Selasa, 3 Februari 2009).
Sejarah pengaturan dana pengawasan perbankan Indonesia tidak terlepas dari keinginan untuk mengembangkan perbankan nasional untuk menanggulangi kejahatan perbankan yang menyertainya. Pengawasan bank melalui audit terhadap bank pemerintah dilakukan berlapis-lapis oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kantor Akuntan Publik, termasuk oleh Bank Indonesia (BI) yang mengawasi operasional sehari-hari bank. Namun, mengapa dengan berbagai pengawasan tersebut, pembobolan di depan mata mencolok terjadi. Sebut saja; Pembobolan Bank BNI melalui transaksi L/C fiktif, yang nilainya mencapai Rp.1,3 triliun, terjadinya permainan atau pemalsuan dokumen NCD (Negotiable Certificate Document) di Bank Mandiri, merefleksikan pengawasan bank yang belum berjalan sebagaimana mestinya, (Habiburrocman; 2005 ,Bisnis Indonesia, 27/10/2003)
Belum lama UU No.21 tahun 2008, tentang Perbankan Syariah disahkan, telah ternodai dengan munculnya kasus transaksi derivative (termasuk gharar) yang dilakukan oleh Unit Usaha Syariah Bank Danamon Tbk, yang sudah jelas merupakan produk yang diharamkan dalam prinsip syariah. Temuan transaski derivatif (transaksi yang berbau spekulasi) diperbankan syariah jelas-jelas mencoreng citra perbankan syariah. Kejadian Ini sungguh sangat ironis, karena terjadi pada saat Bank Indonesia sedang mengkampanyekan pengembangan ekonomi syariah. Dengan kasus Bank Danamon ini, masyarakat menjadi bertanya-tanya kemana Bank Indonesia dan Dewan Pengawas Syariah, internal audit? Mungkin saja kejadian semacam ini berlangsung juga di bank syariah lain. Apalagi mekanisme di lapangan khususnya untuk transaksi-transaksi yang tidak tercatat atau diluar kendali Bank Indonesia, seperti proses akad, jenis investasi maupun pembiayaan yang disalurkan, dikhawatirkan banyak melanggar dari prinsip-prinsip syariah.
Tentu saja hal ini mutlak diperlukan penerapan Tata Kelola yang baik (Good Corporate Governance) di perbankan syariah guna meningkatkan kepercayaan publik. Mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesionalisme, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan operasional bank. Dalam pelaksanaannya Bank Syariah dan UUS diwajibkan untuk menyusun prosedur internal yang mengacu pada prinsip-prinsip tersebut. Dalam konteks penerapan GCG di bank syari’ah, para bankir syari’ah harus benar-benar merujuk kepada prinsip-prinsip dan nilai-nilai ekonomi dan bisnis Islam yang telah diterapkan oleh Rasulullah. Kalau tidak, jangan menjadi praktisi bankir syari’ah karena dikhawatirkan mereka hanya akan merusak citra ”kesucian” syari’ah di masa yang akan datang. Nabi Muhammad adalah pelopor penegakan moral dalam setiap aspek kehidupan. Ia bersabda, ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai bisnis yang diajarkan dan dipraktekan Nabi Muhammad Saw tersebut sangat identik dengan spirit GCG yang dikembangkan saat ini.

1.3 Mewaspadai Morald Hazard pada Lembaga Syariah
Menarik, apa yang dikemukakan oleh Drs.Agustianto, M.Ag, Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), bahwa praktek moral hazard sudah menjadi kebiasaan di lembaga-lembaga perbankan. Kita sering mendengar berita korupsi di berbagai lembaga perbankan, baik bank BUMN maupun bank swasta. Berbagai kejadian korupsi tersebut, harus menjadi perhatian serius bagi para steakholders bank syari’ah, baik pemilik/ pemegang saham, komisaris, direksi, karyawan (staff), Dewan Pengawas Syari’ah, nasabah dan para akademisi ekonomi syari’ah lainnya.
Hal ini perlu menjadi perhatian penting, sebab saat ini lembaga perbankan syari’ah sedang menjadi idola dan berkembang sangat pesat di tanah air. Saat ini, menurut data dari Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah Bank Pebruari 2009, terdapat 5 Bank Umum Syariah dengan 618 jumlah kantor, dan 26 UUS Bank Syariah dengan 249 kantor tersebar di seluruh Indonesia.
Di masa depan, jika tidak terdapat pengawasan terhadap prinsip-prinsip syariah dengan baik,bukan tidak mustahil perbankan dan lembaga keuangan syariah akan menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi para pelaku korupsi, penyimpangan, dan money laundry berlabel syariah di dalam lembaga keuangan Syariah, meskipun di situ ada Dewan Pengawas Syari’ah. Agar kasus UUS Bank Danamon tidak terulang lagi, yang telah mencoreng lembaga syariah, maka sejak dini perlu diingatkan kepada pihak-pihak terkait agar berkomitmen menjauhi setiap penyimpangan di bank syari’ah.

Bentuk Moral Hazard
Dalam konteks ini, Dhani Gunawan, peneliti senior Bank Indonesia, menyatakan bahwa korupsi di lembaga perbankan pada umumnya dapat menjelma dalam tiga bentuk. Pertama, bentuk langsung, Kedua, tidak langsung dan Ketiga, samar-samar (fuzzy). Bentuk korupsi langsung adalah pencurian uang pada bank oleh oknum individu atau kelompok dengan cara memanipulasi laporan keuangan, manipulasi dokumen dana bank atau dana nasabah, juga bisa dalam bentuk memark-up pembelian barang atau inventaris.

Korupsi tidak langsung dapat berwujud dalam nepotisme tender barang atau jasa kepada sanak keluarga, sehingga bank dapat menjadi rugi, karena kualitas barang/jasa yang rendah. Atau oknum bankir mendapat komisi, atau sukses fee dari rekanan bank yang tidak dibukukan sebagai laba bank. Dana yang tak dibukukan ini diistilahkan dengan ”dana taktis”. Keberadaan dana taktis ini merupakan bibit awal korupsi, bibit awal rekayasa giant mark-up, karena dana taktis itu berasal dari anggaran bank yang kemudian berubah menjadi dana kepentingan pribadi atau oknum.

Sedangkan korupsi samar-samar merupakan bentuk yang paling potensial sering terjadi, karena berada di area abu-abu yang mudah disembunyikan, seperti komisaris atau direksi yang menggunakan mobil dinas mewah yang kemudian setelah penyusutan lalu dibeli menjadi miliknya dengan harga di bawah pasar, atau pegawai yang sering mankir darin tugas dengan berbagai alasan.

1.4 Perbankan Syariah akan Tumbuh Subur & Menggiurkan Bagi ”Investor”
Perbankan Syariah diperkirakan akan semakin tumbuh subur dan menggiurkan bagi Investor, terutama untuk bankir.Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain:
a. Berdasarkan Ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah, yang ditetapkan oleh Gubernur BI pada 29 Januari 2009, Bank Indonesia (BI) menetapkan modal disetor untuk mendirikan bank umum syariah paling kurang sebesar Rp 1 triliun. Bank Umum Syariah (BUS) juga tidak diperbolehkan 100% milik asing. (sementara persyaratan bagi modal disetor Bank Umum sebesar 5 triliun), detikFinance dari situs BI, Senin (2/2/2009).
b. Berdasarkan data dari Statistik Perbankan Syariah, tentang Neraca Gabungan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (periode 2005-2008); Modal to Asset – perbandingan Modal dibandingkan dengan total Asset adalah rata-rata berkisar 3% - 4.5%.
c. Berdasarkan data dari Statistik Perbankan Syariah, tentang Rasio Keuangan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (periode 2005-2008); Return on Equity (ROE) – rasio laba setelah pajak terhadap modal adalah berkisar berkisar 26.7% - 85.63%. Namun jika kita lihat selama periode 2007-2009 rata-rata ROE diatas 50%. Menunjukkan bahwa Break Even Point hanya kurang dari 2 tahun.
d. Struktur Neraca dari Akuntasi Syariah yang sangat menguntungkan bagi pemilik/ pengelola bank,
AKTIVA = KEWAJIBAN + DANA (titipan) PIHAK KETIGA +MODAL
Sehingga menurut penulis, DANA (titipan) PIHAK KETIGA , dengan sistem bagi hasil (baik mudharabah maupun musyarakah), dapat memungkinkan si pengelola dana/pemilik bank dapat dengan mudah menghasilkan Keuntungan (return) yang optimal, dengan resiko yang seminimal mungkin. Karena resiko boleh dikatakan sudah ditanggung oleh para pihak yang memiliki dana dengan yang menerima dana atau menjalankan usaha. Hal ini sangat berbeda dengan bank konvensional, dimana dana pihak ketiga tetap menjadi beban bagi bank apabila terjadi kesalahan penyaluran kredit.
Dengan pertumbuhan yang sangat cepat nantinya, maka tingkat resiko akan kesalahan prosedur terutama sesuai prinsip syariah maupun kecurangan dikhawatirkan akan semakin besar seiiring dengan daya tarik yang disebutkan diatas.
1.2 Identifikasi Masalah
Seperti yang telah diungkapkan diatas, bahwa praktek perbankan Indonesia sering diwarnai dengan moral hazard baik yang terdeteksi maupun tidak, yang dilakukan sendiri oleh manajemen, pemilik bank maupun melalui permainan cantik dengan lembaga pengawas. “....Alhasil, dengan sistem perbankan yang permisif itu, Indonesia menjadi surga bagi pemilik bank” (Habiburrochman,Univ. Airlangga Surabaya;Ary Suta, 2003). Dengan kondisi yang telah disampaikan di latar belakang masalah, maka sangat beralasan jika muncul kekhawatiran di benak masyarakat, bahwa bukan tidak mustahil perbankan dan lembaga keuangan syariah akan menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi para pelaku korupsi, penyimpangan, dan money laundry berlabel syariah di dalam lembaga keuangan Syariah.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, terdapat beberapa pertanyaan yang dapat diidentifikasikan sebagai masalah, sebagai berikut:
a. Bagaimana peranan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam memastikan bahwa mekanisme operasional di lapangan telah memenuhi dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syariah?
b. Bagaimana struktur organisasi, sistem operating prosedur, serta peranan manajemen menerapkan Good Corporate Governance melalui peran Internal Audit, Komite Audit?
c. Bagaimana peranan Bank Indonesia sebagai regulator sekaligus pengawas Perbankan di Indonesia agar mencegah penyimpangan praktek Perbankan Syariah?
d. Bagaimana peranan Akuntan Publik Bank Syariah sehingga dapat menjadi tameng terakhir bagi investor terhadap salah saji pelaporan keuangan dan pelaporan internal control Bank Syariah?


PEMBAHASAN

2.1. Good Corporate Governance (GCG)
Penerapan Good Corporate Governance di lembaga perbankan syari’ah menjadi sebuah keharusan. Bahkan bank-bank syariah harus tampil sebagai pionir terdepan dalam mengimplementasikan GCG tersebut. Dalam kerangka itulah IFSB (Islamic Financial Service Board), sebuah Badan penetapan standart internasional untuk regulasi lembaga keuangan Islam yang berpusat di Kuala Lumpur, baru-baru ini mengekspose draft GCG untuk Lembaga keuangan Syariah. Rencananya, draft tersebut akan disahkan pada bulan November mendatang. Jika draft GCG tersebut disahkan, maka ia akan menjadi pedoman pelaksanaan tata kelola perusahaan lembaga keuangan syariah di semua negara. Sebelum disahkan, IFSB mengharapkan masukan dari para akademisi dan praktisi ekonomi Islam di seluruh dunia. Kini draft tersebut sudah diekspose di tiga negara; Inggris (london), Lebanon (Beirut), dan di Indonesia (Jakarta).

Perbedaan GCG syariah dan konvensional terletak pada syariah compliance yaitu kepatuhan pada syariah. Sedangkan prinsip-prinsip transparansi, kejujuran, kehati-hatian, kedisiplinan merupakan prinsip universal yang juga terdapat dalam aturan GCG konvensional.

Pengertian GCG
Pengertian Good Corporate Governance (GCG) menurut World Bank, merupakan kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.

Sementara itu dalam CGC Workshop Kantor Meneg PM BUMN Desember 1999, dirumuskan bahwa good corporate governance berkaitan dengan pengambilan keputusan yang efektif, yang bersumber dari budaya perusahaan, etika, nilai, sistem, proses bisnis, kebijakan, dan struktur organisasi yang bertujuan untuk mendorong dan mendukung pengembangan perusahaan, pengelolaan sumberdaya dan resiko secara lebih efisien dan efektif serta pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya Menurut Hessel (2001) , ada tiga hal pokok yang urgen untuk menciptakan good and clean government yaitu 1. Pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), 2. Disiplin anggaran, dan penghapusan dana nonbudgeter, serta 3. Peningkatan fungsi pengawasan.

Berangkat dari definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip good corporate governance adalah :
1 Keadilan (fairness)
2 Transparansi (transparency)
3 Akuntabilitas (accountability)
4 Tanggung jawab (responsibility)
5 Moralitas (morality)
6 Komitmen (commitment)
7 Kemandirian (independent)

Dalam ajaran Islam, point-point tersebut menjadi prinsip penting dalam aktivitas dan kehidupan seorang muslim. Islam sangat intens mengajarkan diterapkannya prinsip ’adalah (keadilan), tawazun (keseimbangan), mas’uliyah (akuntabilitas), akhlaq (moral), shiddiq (kejujuran), amanah (pemenuhan kepercayaan), fathanah (kecerdasan), tabligh (transparansi, keterbukaan), hurriyah (independensi dan kebebasan yang bertanggungjawab), ihsan (profesional), wasathan (kewajaran), ghirah (militansi syari’ah, militansi syari’ah, idarah (pengelolaan), khilafah (kepemimpinan), aqidah (keimanan), ijabiyah (berfikir positif), raqabah (pengawasan), qira’ah dan ishlah (organisasi yang terus belajar dan selalu melakukan perbaikan).
Berdasarkan uraian di atas dapat dipastikan bahwa Islam jauh mendahului kelahiran GCG (Good Coorporate Governance) yang menjadi acuan bagi tata kelola perusahaan yang baik di dunia. Prinsip-prinsip itu diharapkan dapat menjaga pengelolaan institusi ekonomi dan keuangan syari’ah secara profesional dan menjaga interaksi ekonomi, bisnis dan sosial berjalan sesuai dengan aturan permainan dan best practice yang berlaku.
2.1 Bankir Syari’ah harus menjadi pionir penegakan GCG
Jika dibanding dengan para bankir konvensional, maka bankir syari’ah seharusnya lebih unggul dan terdepan dalam implementasi GCG di lembaga perbankan, mengingat lembaga perbankan syari’ah membawa nama agama ke dalam lembaga bisnis. Tegasnya, bankir syari’ah harus memainkan perannya sebagai pionir penegakan GCG di lembaga perbankan. Jika para bankir syari’ah melakukan penyimpangan dan moral hazard, hal itu tidak saja berimplikasi kepada lembaga tersebut tetapi juga kepada citra syari’ah. Meskipun para pelaku ekonomi mengetahui bahwa hal itu kesalahan oknum tertentu. Tetapi masyarakat akan dengan cepat menilai bahwa lembaga syariah saja melakukan moral hazard, apalagi lembaga konvensional.

Keharusan tampilnya bankir syari’ah sebagai pionir penegakan GCG dibanding konvensional, menurut Algaoud dan Lewis (1999) karena permasalahan governance dalam perbankan syariah ternyata sangat berbeda dengan bank konvensional. Pertama, bank syariah memiliki kewajiban untuk mematuhi prinsip-prinsip syariah (shariah compliance) dalam menjalankan bisnisnya. Karenanya, Dewan Pengawas Syariah (DPS) memainkan peran yang penting dalam governance structure perbankan syariah. Kedua, karena potensi terjadinya information asimmetri sangat tinggi bagi perbankan syariah maka permasalahan agency theory menjadi sangat relevan. Hal ini terkait dengan permasalahan tingkat akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana nasabah dan pemegang saham. Karenanya, permasalahan keterwakilan investment account holders dalam mekanisme good corporate governance menjadi masalah strategis yang harus pula mendapat perhatian bank syariah (Archer dan Karim, 1997). Ketiga, dari perspektif budaya korporasi, perbankan syariah semestinya melakukan transformasi budaya di mana nilai-nilai etika bisnis Islami menjadi karakter yang inheren dalam praktik bisnis perbankan syariah (Sigit Pramono,2002). (Drs.Agustianto,M.Ag, 2008; Good Corporate Governance di Bank Syari’ah)

2.3 GCG & Sarabanes Oxley Act of 2002 bagi Stakeholders Bank Syariah
Jika kita hendak membicarakan GCG, tentu kita juga tidak dapat melepaskan dari tata-cara pengungkapan dan pelaporan internal control dan keuangan. Kinerja perusahaan biasanya baru dapat dinilai/dianalisa setelah diterjemahkan dalam angka baik dalam penetuan target pencapaian secara kualitatif maupun kuantitatif (nominal rupiah). Sejak terjadinya kasus perekayasaan Laporan keuangan terhadap Laporan keuangan Enron, maka lahirlah Sarbanas-Oxley Act of 2002. Sarbanes-Oxley Act of 2002, merupakan undang-undang yang namanya berasal dari dua arsitek utamanya, senator Paul Sarbanes (dari partai demokrat yang mewakili Maryland) dan congresman Michael Oxley (dari partai republik, mewakili Ohio). Oleh kebanyakan orang, undang-undang ini disingkat sebagai Sox, Sarbox, atau Soa. (Selanjutnya kita akan menggunakan Sox).
Sox juga mempunyai nama panjang, yakni the Public Company Accounting Reform and Investor Protection Act (terjemahan: undang-undang tentang penataan kembali akuntansi perusahaan publik dan perlindungan terhadap investor). Perusahaan Public di sini bermakna perusahaan-perusahaan yang mencatat dan memperdagangkan surat-surat berharga (efek-efek) mereka di berbagai pasar modal di Amerika.
Dari nama panjangnya dapat disimpulkan bahwa Sox merupakan ketentuan perundangan yang merombak ketentuan-ketentuan di bidang akuntansi. Perombakan atau penataan kembali ini dimaksudkan (sebagaimana lazimnya ketentuan pasar modal) untuk melindungi penanam modal. Sox dirancang untuk mencegah terulangnya sekandal keuangan yang dilakukan Enron, Tyco, Worldcom, Adelphia, dan lain sebagainya.
Sekandal pelaporan keuangan yang terbesar di awal abad millennium (mulai tahun 2001) dengan melibatkan kantor akuntan publik (kap) the Big Five; Arthur Andersen dan kliennya perusahaan Enron, Tyco, Worldcom, Adelphia, dll, sehingga menguak sederet kasus skandal laporan keuangan perusahaan terbuka yang melibatkan the Big Five lainnya, telah mengakibatkan runtuhnya kepercayaan investor terhadap laporan keuangan khususnya bagi perusahaan yang tercatat di pasar modal. Bahkan seperti kasus yang terjadi di indonesia, kasus bank global membuat prinsip transparansi, keterbukaan dan akuntabilitas merupakan harga mutlak yang harus dibayar demi terciptanya pasar modal yang sehat dan dapat dipercaya. Untuk mencegah hal tersebut dapat terulang dan mengembalikan kepercayaan stakeholder terhadap pasar modal maka muncullah sarbanes-oxley act (Sox) of 2002.
Sebagai bagian undang-undang pasar modal, Sox ingin memastikan adanya ketaatan terhadap aturan yang didesain untuk mengamankan kepentingan pemodal dan calon pemodal. karena itu Sox disebut compliance legislation. Dampaknya dirasakan secara global, karena perusahaan publik Amerika Serikat berdomisili di banyak penjuru dunia. termasuk perusahaan Indonesia yang mencatatkan diri di pasar modal Amerika; PT Telkom Tbk. – juga harus mentaati Sox.

Sox diundangkan pada tanggal 30 juli 2002. ada suatu bagian penting dalam Sox (section 404) yang mulai berlaku belakangan, yakni pada tanggal 15 november 2004. Namun, untuk menerapkan section 404 yang rumit ini, perusahaan-perusahaan publik harus menyiapkan diri sejak diundangkannya Sox di tahun 2002.
(Theodorus M.Tuanakotta, Setengah Abad Profesi Akuntansi: 235- 236)

Tujuan Sox
Terdapat 4 (empat) tujuan utama Sox:
1. membuat manajemen bertanggungjawab
2. memperkuat pengungkapan (disclosures)
3. melakukan review yang teratur (oleh sec; securities and exchange commission)
4. membuat akuntan bertanggung jawab.

Pada dasarnya Sox ini merupakan bagian dari GCG. Namun dari sekian banyak section (pasal), terdapat 2 (dua) section dari Sarbanes-Oxley Act of 2002 yang sangat berkaitan dengan GCG dalam rangka menegakkan dan mencegah timbulnya penyimpangan prinsip-prinsip syariah dari para stakeholders, yakni dengan mewajibkan pengungkapan terbaru mengenai efektivitas sistem internal control dari sebuah entitas (perusahaan).
Adapun Secttion tersebut adalah sebagai berikut:
1. Section 302, Corporate Responsibility for Financial Reports disebutkan adanya peran yang besar dari internal audit untuk memfasilitasi proses pengendalian risiko bisnis. Internal auditor harus memberikan informasi yang cukup terhadap eksternal auditor mengenai laporan keuangan perusahaan. Sox 302 juga yang mewajibkan CEO dan CFO mengevaluasi design, implementasi dan efektivitas dan melaporkan terutama kelemahan yang bersifat material dari sistem internal control perusahaan secara periode kuartal laporan (setiap 3 bulan).
2. Section 404; mewajibkan KAP yang mengaudit laporan keuangan tahunan perusahaan dalam melaksanakan annual audit untuk mereview dan evaluasi atas manajemen internal-control (atas pengungkapan section 302) dalam rangka atestasi (memberikan pendapat) terhadap laporan annual audit.

Sox berlaku untuk siapa
Sox berlaku untuk penerbit dari semua surat berharga atau efek-efek (securities) dalam semua perusahaan yang diperdagangkan secara terbuka, unutk segala ukuran.
secara spesifik, Sox berlaku bagi:
1. Perusahaan yang surat berharganya diperdagangkan di New York Stock Exchange atau bursa lainnya di AS
2. Perusahaan dengan lebih dari 500 pemodal dan mempunyai asset $10 juta atau lebih
3. Perusahaan dengan lebih dari 300 pemodal, dan memenuhi syarat lain seperti penerbitan surat-surat utang jangka panjang seperti obligasi.
4. Para pendaftar sukarela, mereka tidak wajib secara hukum,, tetapi menerapkan Sox secara sukarela.
5. Perusahaan yang registerasinya masih pending. misal perusahaan yang melakukan IPO untuk saham atau surat utang.
Jika kita hubungkan antara SOX berlaku untuk siapa dengan perbankan syariah harus menjadi pionir dalam penerapan GCG, maka seharusnya perbankan syariah tergolong dalam poin no.4; Para pendaftar sukarela, sehingga perbankan syariah wajib menerapkan Sox 302 dan 404.
Namun pada kenyataannya adalah masih banyak praktek-praktek dilapangan, peraturan-peraturan, SDM/SDI (sumber daya insani) yang belum mendukung dari prinsip syariah dan GCG.

3. Penyimpangan - penyimpangan dari syari’ah
Seperti yang telah diungkapkan dalam Bab I Pendahuluan (bagian kasus perbankan umum dan perbankan syariah di Indonesia); Belum lama UU No.21 tahun 2008, tentang Perbankan Syariah disahkan, telah ternodai dengan muculnya kasus transaksi derivative (termasuk gharar, transaksi yang berbau spekulasi) yang dilakukan oleh Unit Usaha Syariah Bank Danamon Tbk, dan telah mencoreng citra perbankan syariah.
Ternyata beberapa tahun sebelum Kasus Danamon terjadi, juga sering terjadi penyimpangan syari’ah dilakukan manajemen bank syari’ah. Bank syari’ah masih banyak melakukan praktek riba yang diharamkan. Padahal idealnya bank syariah-lah yang menjadi lokomotif lembaga keuangan anti riba, tapi justru di bank syari’ah itu pula terdapat praktek riba. Dari beberapa kasus, yang dapat diungkapkan dimedia massa, beberapa bank atau unit syariah seperti Bank Syariah Mandiri (BSM) dan BNI Divisi Usaha Syariah bahkan ikut dalam kredit sindikasi proyek Indosat Multimedia Mobil (IM3) dan akan memperoleh bunga atas pembiyaan tersebut 19% per tahun (RepublikaOnline, 8/8/2002). Padahal, transaksi yang terkait dengan bunga adalah suatu transaksi yang tidak dapat dilakukan oleh sebuah bank syariah.

Fakta tersebut di atas jelas menunjukkan bahwa PT BSM dan PT BNI DivisiUsaha Syariah telah melakukan transaksi yang tidak sesuai dengan prinsip syariah. Walaupun, katanya, transaksi tersebut terpaksa dilakukan (dharuri? ), pendapatan bunga yang diperoleh tidak dapat dianggap sebagai pendapatan bank dan harus didistribusikan untuk keperluan sosial. Bahkan, manajemen bank syariah harus mengungkapkan dalam laporan keuangannya alasan dilakukannya transaksi tersebut (AAOIFI Standard, 1998). Kita tidak tahu, apakah untuk kasus-kasus yang terjadi lembaga keuangan syariah yang skala kecil juga tidak terlepas dari penyimpangan ini?

Bapak Agustianto, MA, (Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Ushul Fiqh dan Fiqh Muamalah Ekonomi Pascasarjana UI ,IEF Trisakti) dalam salah satu tulisannya mengungkapkan bahwa fenomena penyimpangan dari prinsip syari’ah ini memang banyak terjadi, menyaksikan secara langsung fakta penyimpangan tersebut setelah melihat kontrak-kontrak (akad-akad) nya. Penyimpangan ini dilakukan oleh bank syari’ah yang telah konversi total dari bank konvensional, kepada syari’ah.

Penyimpangan ini langsung disampaikan ke Dewan Syari’ah Syari’ah Nasional di Jakarta, Dewan Pengawas Syari’ah Bank bersangkutan, juga menyampaikannya ke Direktur Bank Indonesia di Jakarta, agar hal ini tidak terulang kembali di masa depan. Yang cukup mengejutkan, ternyata menurut laporan oknum di Bank Indonesia, kasus penyimpangan bank syari’ah tersebut telah sering terjadi yang dilakukan oleh bank syari’ah yang berasal dari bank konvensional. Bank Indonesia selalu menyampaikan banyaknya indikasi pelanggaran syari’ah yang dilakukan oleh lembaga perbankan syari’ah dalam praktek operasionalnya, sebagaimana yang beberapa kali diingatkan oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia Maulana Ibrahim.

Menghadapi fenomana tidak syari’ahnya bank syari’ah, maka Bank Indonesia dan para ulama ekonomi syari’ah harus melakukan purifikasi (pemurnian) prinsip syariah di dalam praktek perbankan syariah. Kemurnian prinsip syariah harus ditingkatkan agar bank syariah dapat beroperasi sesuai prinsip itu serta sekaligus dapat meminimalkan risiko yang terkait dengan citranya sebagai lembaga beratribut syari’ah.

2.4 Peranan Dewan Pengawas Syariah, Internal Audit, Bank Indonesia, dan Akuntan Publik Dalam menegakkan GCG Perbankan Masih Belum Optimal

Menurut pendapat penulis, resiko kasus penyimpangan-penyimpangan yang tidak atau pun belum terkuak dan dipublikasikan akan semakin banyak terjadi. Yang dikhawatirkan di masa depan adalah bukan tidak mustahil perbankan dan lembaga keuangan syariah akan menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi para pelaku korupsi, penyimpangan, dan money laundry berlabel syariah di dalam lembaga keuangan Syariah. Penulis mencoba untuk memberikan analisis terhadap penyebab kekhawatiran penyimpangan-penyimpangan tersebut, salah satunya adalah bertolak dari Perundang-undangan dan keputusan yang keluarkan untuk sebagai naungan hukum/instrument pokok dalam mendukung pertumbuhan lembaga keuangan syariah kurang konsekuen terhadap GCG. Sebut saja undang-undang Bank Indonesia dan Keputusan yang di buat DSN –MUI dan, sebagai pihak yang berwenang lebih cenderung hanya sekedar legalitas bersifat permisif dan sekedar memuluskan pencapaian target semata tanpa mempunyai niatan untuk menerapkan GCG secara konsekuen, serta tanpa memikirkan dampak negatif yang sangat besar. Karena untuk jangka panjang dapat merusak kaidah agama. Berikut ini Penulis mencoba menjabarkan apa dan bagaimana peranan dari masing-masing stakeholders terhadap penerapan GCG di perbankan syariah yang masih dianggap masih kurang memuaskan.

Peranan Dewan Pengawas Syariah (DPS) & Bank Indonesia
Bagaimana peranan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam memastikan bahwa mekanisme operasional di lapangan telah memenuhi dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syariah? Menarik jika kita membicarakan peranan Dewan Pengawas Syariah (DPS) & Bank Indonesia seperti apa yang ditulis oleh Agustianto, MA, (Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Ushul Fiqh dan Fiqh Muamalah Ekonomi Pascasarjana UI ,IEF Trisakti) yang secara khusus membahas secara detail khususnya tentang praktek di lapangan Dewan Pengawas Syariah. Banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi dilapangan.

Dewan Pengawas Syariah (DPS) di lembaga keuangan dan perbankan syariah syariah memiliki peran penting dan strategis dalam penerapan prinsip syariah di lembaga keuangan syariah. DPS merupakan badan independen yang ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) pada perbankan dan lembaga keuangan syariah. Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi dan reksadana.

Menurut Keputusan Dewan Syari’ah Nasipnal – MUI, No.3 Tahun 2000, Dewan Pengawas Syari'ah (DPS) adalah bagian dari lembaga keuangan syari’ah yang bersangkutan, yang penempatannya atas persetujuan Dewan Syari'ah Nasional (DSN).Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syari'ah agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syari'ah yang telah difatwakan oleh DSN. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, DPS wajib mengikuti fatwa DSN yang merupakan otoritas tertinggi dalam mengeluarkan fatwa mengenai kesesuaian produk dan jasa bank dengan ketentuan dan prinsip syariah.

Namun, peran pengawasan yang dilakukan DPS saat ini masih belum optimal. Menurut Prof.Dr.Monzer Kahf (2005), pakar ekonomi Islam kontemporer, DPS seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai pengawas kepatuhan syariah sebuah produk, tetapi juga mengawasi manajemen dan prinsip keadilan yang dijalankan lembaga keuangan dalam profit distribution.
Fenomena yang terjadi saat ini di dalam praktek pengawasan syari’ah di bank-bank syari’ah di Indonesia adalah peran vital DPS belum berjalan secara optimal, bahkan sangat jauh dari peran yang semestinya mereka jalankan. Fenomena ini tidak saja di lembaga BPR Syari’ah tetapi juga di bank umum syari’ah. Kita sangat sedih melihat para ulama dan ustaz yang secara tertulis dicantumkan sebagai Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) di Bank Syari’ah, tetapi fungsinya jauh dari optimal. Banyak di antara mereka yang tidak berperan sama sekali mengawasi operasional perbankan syari’ah. Bahkan terkadang, meja saja tidak diberikan kepada Dewan Pengawas Syari’ah tersebut.

Tidak sedikit pula Dewan Pengawas Syari’ah yang amat jarang datang ke bank syari’ah. Kalaupun mereka datang, asal datang saja, mereka tidak memeriksa format dan redaksi akad, bagaimana bank syari’ah menjalankan restruksirisasi, reschedule, cara penetapan margin, dsb. Kadang-kadang DPS datang sekali sebulan atau sekali seminggu bahkan ada yang berbulan-bulan tidak datang ke bank syari’ah yang seharusnya diawasinya. Karena itu, tak mengherankan jika masih banyak praktek perbankan syari’ah yang menyimpang dari ketentuan syari’ah Islam. Inilah realitas yang terjadi di lembaga perbankan syariah di Indonesia saat ini. Kritik ini memang terasa pahit, tapi inilah fakta yang terjadi.

Lebih ironis lagi, kritikan diatas seolah-olah tidak ada artinya, karena dari DSN-MUI sendiri sepertinya sudah mengantisipasi jika di kemudian hari DPS akan menimbulkan banyak masalah, maka dari itu dibuatlah Keputusan DSN-MUI,No:03 Tahun 2000,Tentang,Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota DPS Pada Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS), tentang:

Keanggotaan DPS:
1. Setiap lembaga keuangan syari'ah harus memiliki sedikitnya tiga orang anggota DPS.
2. Salah satu dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai ketua.

Perangkapan Keanggotaan DPS:
1. Pada prinsipnya, seseorang hanya dapat menjadi anggota DPS di satu perbankan syari'ah dan satu lembaga keuangan syari'ah lainnya.
2. Mengingat keterbatasan jumlah tenaga yang dapat menjadi anggota DPS, seseorang dapat diangkat sebagai anggota DPS sebanyak-banyaknya pada dua perbankan syari'ah dan dua lembaga keuangan syari'ah lainnya.

Keputusan DSN-MUI,No:03 Tahun 2000 tersebut diatas juga tidak terlepas dari latar-belakang bahwa masih kurangnya tenaga DPS yang profesional, dalam mencapai target dari BI yakni menjadikan market share bank Syariah sebesar 5%. Kebutuhan sumber daya Insani (SDI) di lembaga keuangan syariah diperkirakan mencapai 40.000 orang di tahun 2010. Padahal berdasarkan data publikasi BI per Februari 2009, jumlah SDI perbankan syariah baru sebanyak 12.113 orang, dengan rincian bank syariah 7.376 orang; unit usaha syariah 2.168 orang; dan BPRS 2.569 orang. Jumlah tersebut meningkat dibanding 2007 yang 8.685 orang. (http://www.bi.go.id/).
Fakta lainnya adalah, seringkali mereka kurang mengerti tentang sistem dan mekanisme operasional bank syari’ah. Pokoknya mereka diletakkan saja di posisi tersebut dalam kapasitasnya sebagai ulama yang memiliki kharismatik dan ahli ilmu fikih. Padahal untuk menjadi Dewan Pengawas Syariah tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan fikih mumalah saja secara normatif, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dalam bidang keuangan dan sistem perbankan, terutama mekanisme operasinal bank syari’ah. Para ulama yang ditempatkan sebagai pengawas syari’ah di bank syari’ah, bukan disebabkan kapasitas pengetahuannnya tentang operasional perbankan, tetapi lebih disebabkan karena pengaruh dan kharismanya. Maka tak heran, jika masih banyak bank syari’ah yang menyimpang dari prinsip syari’ah.

UU Perbankan syariah, No.21 th 2008, pasal 32, ayat 2 menyatakan; DPS diangkat oleh RUPS atas rekomendasi MUI.

Berdasarkan UU Perbankan Syariah, pasal 32 diatas, sekilas dapat kita nilai bahwa peran kontrol dari Bank Indonesia sangatlah lemah.Menurut penulis posisi BI dan MUI didalam menyusun UU serta mengatur tata-laksana Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah seharusnya sejajar, sehingga seharusnya DPS diangkat oleh RUPS atas rekomendasi MUI & Bank Indonesia ( Bukan hanya rekomendasi MUI).
Hal ini senada dengan Keputusan DSN-MUI,No:03 Tahun 2000,Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota DPS Pada Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS), tentang prosedur penetapan anggota DPS; LKS mengajukan permohonan penempatan anggota DPS kepada DSN. Permohonan tersebut dapat disertai usulan nama calon DPS. Syarat anggota Memiliki kompetensi kepakaran di bidang syari’ah mu’amalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum.
Dari sisi kontrol, prosedur ini sangatlah kontradiksi. Jika di UU Perbankan tadi kedudukan BI lemah dibandingkan MUI, pada keputusan ini, kedudukan DSN-MUI (diwakili DPS) kurang independent; karena LKS dapat mengajukan usulan nama calon DPS. Kemungkinan lainnya adalah posisi DPS secara structural menjadi dibawah (diawasi) oleh LKS bukannya malah sebagai pengawas jalannya LKS dalam menjalankan prinsip syariah. Hal ini membuat fungsi control BI, khususnya seleksi awal terhadap SDM/SDI (Sumber Daya Insani) menjadi semakin sangat lemah.
Didasarkan kepada pentingnya anggota DPS yang profesional dan produktif, (bukan sekedar pajangan, karena kharisma), maka, adalah sangat tepat apabila Bank Indonesia melakukan fit and profer test terhadap calon anggota DPS, betapa pun tingkat professornya dan kedalaman ilmu agama yang dimilikinya. Seorang DPS juga harus cerdas dalam ilmu ekonomi perbankan dan meyakini secara ilmiah tentang keharaman bunga bank. Keharaman bunga bank bukan didasarkan pandangan emosional atau pandangan normatif atau pendekatan dalil quran dan hadits saja. Apalagi dalam kehidupan kita sehari-haripun kadang-kadang dalam penafsiran para ulama ulama terhadap halal/haram (batasan halal-makruh-mubah-haram) dari suatu produk ataupun kondisi masih tergantung dari persepsi dari masing-masing ulama. Sehingga anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan di bidang ekonomi perbankan. Maka sudah seharusnya menjadi perhatian dari 3 lembaga terkait; 1. perbankan syariah sendiri , 2. DSN/Dewan Syariah Nasional, 3. Bank Indonesia.
Menurut penulis, penerapan GCG dari Perbankan Syariah pada saat ini, boleh dibilang masih setengah hati. Padahal Perbankan syariah seharusnya mutlak menerapkan konsep GCG secara komprehensif yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tidak boleh kalah dengan BAPEPAM yang telah mengadopsi Sarbannes Oxley Act 2002 (Sox), meskipun baru diterapkan mulai tahun buku laporan keuangan 2004 berdasarkan Keputusan Ketua Bapepam No.kep.40/pm/2003 tentang tanggung jawab direksi atas laporan keuangan, direksi emiten wajib membuat surat pernyataan, atau di dalam Sarbannes Oxley Act disebut director’s certification on financial statement.
Jadi jika Lembaga keuangan syariah ingin mengadopsi Sox terhadap anggota DPS, seharusnya menggunakan semacam Komite Audit, yang terdiri dari 3 lembaga terkait; 1. perbankan syariah sendiri , 2. DSN/Dewan Syariah Nasional, 3. Bank Indonesia. Padahal Komite Audit yang selama ini diterapkan pada perusahaan listing di Pasar Modal (Jsx atau New York sekalipun), masih terdapat beberapa kekurangan dalam mendeteksi dan mengungkapkan kelemahan internal control, apalagi jika DPS itu hanya ditunjuk/mewakili 1 (satu) lembaga (DSN-MUI).
Hal ini diperkuat dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Krishnan,2005 ; (Yan Zhang dkk,2006, Audit Committee Quality, Auditor Independence, and Internal Control Weakness) menemukan bahwa terdapat hubungan antara kelemahan internal control suatu perusahaan terhadap kualitas (pengalaman, background, dll) komite audit. Disini komite audit dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:
1. Komite audit yang memang mempunyai pengalaman dan ahli di bidang financial-akuntansi (accounting-financial expertise)
2. Komite audit yang tidak memiliki pengalaman dan keahlian di bidang financial-akuntansi (non-accounting financial expertise).

Oleh Defond, 2005: secara specific komite audit accounting-financial expertise, dikelompokkan lagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Accounting-financial expertise, yang pernah bekerja sebagai akuntan public, auditor, principal or Cief Financial Officer, Controller, atau principal/ Chief Accounting Officer.
2. Non-accounting financial expert, yang pernah menjadi CEO, President, atau Chairman of Board in profit corporation, berpengalaman sebagai managing director, principal in venture financing, investment banking.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa untuk kelompok accounting-financial expertise (terutama kelompok 1 (satu) oleh Defond; yang pernah menjadi auditor, controller, dst), mereka memiliki kemampuan mendeteksi material misstatement, jika dibandingkan dengan non-accounting financial expertise..

Peranan Internal Audit dalam mendukung GCG.
Menurut UU Perbankan syariah, No.21 th 2008, pasal 31; Dalam menjalankan kegiatan Bank Syariah, direksi “dapat” mengangkat pejabat eksekutif (dipenjelasan: kepala divisi, pemimpin kantor cabang, kepala satuan kerja audit internal)
Dari pasal ini, perlu diperhatikan pada fungsi audit internal. Kata “dapat” bisa diterjemahkan sebagai; TIDAK WAJIB mengangkat pejabat eksekutif. Atau jika pun ada maka kepala satuan kerja audit internal akan berada dibawah Direksi. Padahal jika mengacu kepada Sarbanes Oxley section 302, serta fungsi control yang baik, maka keberadaan internal audit adalah WAJIB dan dalam struktur organisasi paling tidak sejajar dengan Dewan Pengawas Syariah (dibawah komisaris/ komite audit). Dan manajemen puncak (CEO / CFO) mendesign, memelihara internal control, serta harus membuat laporan secara periodic (per 3 bulan) terutama terhadap kelemahan material dari internal control perusahaan.
UU Perbankan syariah, No.21 th 2008, pasal 31, ini juga berkaitan erat dengan pasal 34, ayat 2 menyatakan:
“Bank Syariah dan UUS wajib menyusun prosesur internal (System Operating Procedures – SOP) mengenai pelaksanaan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (ayat 1; Bank syariah dan UUS wajib menerapkan GCG yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban professional, dan kewajaran dalam menjalankan usahanya.”
Pertanyaan pertama yang muncul dari Pasal 34 ini adalah siapa yang bertanggung jawab dalam membuat/menyusun prosedur internal, apakah Manajemen, Komisaris (CEO), DPS (DSN-MUI), ataukah BI sebagai regulator? Karena menurut penulis, di dalam menyusun prosedur internal perbankan Syariah diperlukan SDI yang sangat memahami 3 bidang sekaligus; ilmu agama (prinsip syariah aqidah maupun mu’amalah), ekonomi khususnya perbankan, dan yang paling penting adalah mempunyai keahlian khusus di bidang internal control (terutama berpengalaman di bidang External Auditor). Apakah dengan keterbatasan sumber daya manusia yang menguasai ketiga hal tersebut, Bank Syariah dan UUS mampu menyusun prosedur internal tersebut? Jika dipaksakan, meskipun bisa dengan dikumpulkan/panel dari ketiga specialist tersebut, pertanyaannya lagi apakah bisa sama persepsi antara aturan Bank syariah/UUS satu dengan yang lain. Pertanyaan kedua, tentang prinsip kewajaran, jika berbicara tentang syari’ah, tentu berhubungan dengan ibadah, sekarang apakah di dalam ibadah (terutama halal-haram), standar kewajaran itu bisa diukur?
Jadi menurut penulis, Bank Indonesia dan DSN-MUI harus bertanggungjawab menyusun SOP, mengeluarkan suatu paket SOP yang seragam untuk masing-masing lembaga syariah dan UUS. Baik itu mengatur Prosedur internal maupun produk yang boleh dan dilarang untuk ditransaksikan.
Perbedaan dalam posisi Internal Auditor di dalam Struktur organisasi dari setiap Perbankan dan lembaga keuangan syariah secara umum, juga mempengaruhi tingkat independensi dari laporan internal audit dalam melakukan pengungkapan kelemahan internal kontrol material serta memberikan informasi yang cukup terhadap eksternal auditor mengenai laporan keuangan perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian BI (2001) yang membahas tentang pengawasan internal di BPR Syariah disebutkan bahwa BPR Syariah di Jawa Timur memiliki struktur organisasi yang berbeda dalam menempatkan auditor internnya.Terdapat BPR Syariah yang menempatkan auditor intern di bawah Direksi sedang yang BPR Syariah lain menempatkan auditor internalnya langsung dibawah komisaris.( Habiburrochman, Univ Airlangga Surabaya,2005)

Peranan Akuntan Publik dalam mendukung GCG.
a. UU Perbankan syariah, No.21 th 2008, pasal 35, ayat 2 & 3 menyatakan; (2) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yandg diatur dengan Peraturan BI, (3) Neraca dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana pada ayat (2) wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik.
Sebelum kita membahas UU Perbankan syariah, No.21 th 2008, pasal 35 diatas, penulis ingin memperlihatkan Peraturan BI No:7/50/PBI/2005, tentang perubahan atas peraturan BI No 3/22/PBI/2001 tentang transparansi kondisi keuangan Bank,pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa:
“Bagi Akuntan Publik dan KAP yang melakukan audit terhadap Bank yang melaksanakan usaha berdasarkan prinsip syariah, …., juga wajib memperoleh pendapat dari DPS mengenai ketaatan Bank terhadap pelaksanaan prinsip syariah sebelum menerbitkan Laporan Audit atas Laporan Keuangan Bank”.
Ayat (3): DPS harus memberikan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Akuntan Publik.
Penjelasan Pasal 19 Ayat (2), sebagai berikut: …. . Dalam mengeluarkan pendapat mengenai ketaatan Bank terhadap prinsip syariah, DPS harus mengacu ketentuan Bank Indonesia tentang tugas dan peran DPS. Pendapat dari DPS ini merupakan bukti audit dan “tidak mempengaruhi pendapat Akuntan Publik” dalam memberikan pendapat.
Menyimak Undang-Undang BI yang terkait dengan Akuntan Publik di atas, sungguh miris rasanya membayangkan bagaimana profesi akuntan kurang dihargai bahkan oleh bank BI sebagai Bank Sentral sekaligus regulator dalam perekonimian Indonesia. Apalagi wewenang posisi Kantor Akuntan Publik ditempatkan lebih rendah dibanding DPS yang baik secara organisasi maupun praktek dilapangannya masih banyak menimbulkan kontroversi.
UU perbankan tersebut sangat rancu dan sangat bertentangan dengan Sox Section 404; yakni mewajibkan KAP yang mengaudit laporan keuangan tahunan perusahaan dalam melaksanakan annual audit untuk mereview dan evaluasi atas manajemen internal-control (atas pengungkapan section 302) dalam rangka atestasi (memberikan pendapat) terhadap laporan annual audit. Sehingga diharapkan Akuntan Publik Bank Syariah dapat berperan menjadi tameng terakhir bagi investor terhadap salah saji pelaporan keuangan dan pelaporan internal control Bank Syariah.

No comments: